Hari ini, aku menyimak sebuah nasihat klasik yang tertulis di dalam buku tua dengan halaman-halaman berwarna kuning kecokelatan. Sebuah nasihat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiayallahu ‘anhu kepada Kumail bin Ziyyad, muridnya. Menurutku, nasihat beliau itu sangatlah sederhana, tetapi begitu agung dan sulit untuk dilakukan ...
Dalam tulisan itu, Kumail bin Ziyyad berkata:
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menggenggam tanganku, lalu mengajakku ke luar menuju dataran tinggi. Ketika kami telah berada di tempat yang tinggi, Ali bin Abi Thalib pun duduk seraya menarik nafas panjang, kemudian berkata, “Wahai Kumail, sesungguhnya hati itu adalah wadah, dan sebaik-baiknya hati adalah yang paling memiliki kesadaran. Resapilah apa yang kukatakan kepadamu ini. Manusia itu terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu ulama rabbani, penuntut ilmu di atas jalan keselamatan, dan rakyat jelata yang mengikuti semua penyeru. (kelompok terakhir) akan miring bersama hembusan angin, tidak bersinar dengan cahaya ilmu, dan tidak bersandar pada pilar yang kokoh. Wahai Kumail, ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu itu menjagamu sedang kamu menjaga harta. Ilmu semakin berkembang jika diamalkan sedang harta semakin berkurang jika dikeluarkan. Wahai Kumail, mencintai ilmu adalah agama. Ilmu membuat ulama ditaati sepanjang hidupnya dan tetap dikenang sepeninggal hidupnya. Adapun kebaikan karena harta, dia akan hilang bersama hilangnya harta itu. Ilmu merupakan hakim sementara harta dibebani hukum. Wahai Kumail, para penyimpan harta itu telah mati meskipun mereka masih hidup. Adapun para ulama, mereka seakan abadi sepanjang masa. Diri mereka telah sirna, namun suri teladan mereka tetap melekat di sanubari. Sesungguhnya di sini —Ali menunjuk ke dadanya— terdapat ilmu jika aku menerimanya dengan benar.” (Kanzul ‘Umal, nomor: 29391).
21 Juni 2010
--HENDRA WIBAWA IBN TATO WANGSA WIDJAJA--
Copas dari tulisan kak hendra di Multiply..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar